TARIK-MENARIK ANTARA SYARI'AH DAN THARIQAH

Diposting oleh Kang Awin on Senin, 17 Desember 2012

Perpisahan antara kedua orientasi keagamaan yang lahiri dan batini itu kemudian mewujudkan diri dalam divergensi sistem-sistem penalaran masing-masing pihak pendukungnya. Maka dalam kedua-duanya kemudian tumbuh cabang ilmu Keislaman yang berbeda satu dari yang lain, bahkan dalam beberapa hal tidak jarang bertentangan. Seolah-olah hendak berebut sumber legitimasi dari al-Qur'an, maka sebagaimana orientasi keagamaan eksoteris yang bertumpu kepada masalah-masalah kehukuman itu mengklaim sebagai paham keagamaan (fiqh) dan jalan kebenaran (syari'ah) par excellence, orientasi keagamaan esoteris yang bertumpu kepada masalah pengalaman dan kesadaran ruhani pribadi itu juga mengklaim diri sebagai pengetahuan keagamaan (ma'rifah) dan jalan menuju kebahagiaan (thariqah) par excellence.

Akibatnya, polemik dan kontroversi antara keduanya pun tidak selamanya bisa dihindari. Ibn Taymiyyah, misalnya, melukiskan pertentangan antara orientasi eksoteris dari kaum fiqh dengan orientasi esoteris dari kaum sufi sebagai serupa dengan pertentangan antara kaum Yahudi dan kaum Kristen. Dengan terlebih dahulu mengutip firman Allah yang artinya, "Kaum Yahudi berkata, 'Orang-orang Kristen itu tidak ada apa-apanya,' dan kaum Kristen berkata, 'Orang-orang Yahudi itu tidak ada apa-apanya'" Ibn Taymiyyah mengatakan:

"Anda dapatkan bahwa banyak dari kaum Fiqh, jika melihat kaum Sufi dan orang-orang yang beribadat (melulu), akan memandang mereka ini tidak ada apa-apanya, dan tidak mereka perhitungkan kecuali sebagai orang-orang bodoh dan sesat, sedangkan dalam tarekat mereka itu tidak berpegang kepada ilmu serta kebenaran sedikit pun. Dan Anda juga dapatkan banyak dari kaum Sufi serta orang-orang yang menempuh hidup sebagai faqir tidak menganggap apa-apa kepada Syari'ah dan ilmu (hukum); bahkan mereka menganggap bahwa orang yang berpegang kepada Syari'ah dan ilmu (hukum) itu terputus dari Allah, dan bahwa para penganutnya tidak memiliki apa-apa yang bermanfaat di sisi Allah."

Ibn Taymiyyah tidak bermaksud menyalahkan salah satu dari keduanya, juga tidak hendak merendahkan sufi, sekalipun ia, sebagai seorang penganut mazhab Hanbali, sangat berat berpegang kepada segi-segi eksoteris Islam seperti diwakili dalam Syari'ah. Karena itu, Ibn Taymiyyah mengatakan,

"Yang benar ialah bahwa apa pun yang berdasarkan Kitab dan Sunnah pada kedua belah pihak itu adalah benar. Dan apa pun yang bertentangan dengan Kitab Sunnah pada kedua belah pihak adalah batil."

Tetapi terhadap pernyataan Ibn Taymiyyah ini, penyunting kitab Iqtidla memberi catatan demikian:

"Ini dengan asumsi bahwa ajaran kesufian itu ada kebenaran. Jika tidak, maka sebenarnya ajaran kesufian itu pada dasarnya adalah ciptaan sesudah generasi utama, yang dalam masa generasi itu hidup sebaik-baik umat dan para imam kebenaran pada umat itu. Sesungguhnya Allah, dengan Kitab-Nya dan petunjuk Nabi-Nya s.a.w. telah membuat kaum beriman tidak memerlukan apa yang ada dalam ajaran kesufian, yang dianggap orang mampu melembutkan hati dan membersihkannya."

Dari kutipan-kutipan itu dapat didasarkan betapa persimpangan jalan antara "kaum kebatinann (ahl al-bawathin) dan "kaum kezahiran" (ahl al-dhawahir) dapat meningkat kepada batas-batas yang cukup gawat. Tetapi benarkah memang antara keduanya tidak terdapat titik pertemuan?

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...