Uzur sholat jum’at

Diposting oleh Kang Awin on Minggu, 16 Desember 2012

Tidak ada keringanan meninggalkan shalat jama’ah kecuali bila ada udzur.

Udzur terbagi dua, yakni udzur umum dan udzur khusus.

Udzur umum misalnya hujan deras baik di malam hari maupun di siang hari, angin kencang pada malam kelam, hujan salju, udara dingin yang menyengat, becek parah, udara panas yang bersangat an pada waktu tengah hari dan sejenisnya.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhu bahwa ketika ia mengumandangkan azan pada suatu malam yang sangat dingin dan berangin, ia mengucapkan: “Shallu fii rihaalikum” (shalatlah kalian di tempat masing-masing), kemudian ia berkata: “Sesunggulnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memerintahkan para muadzdzin agar mengucapkan  perkataan di atas apabila malam sangat dingin dan turun hujan deras. Ibnu Baththal berkata: “Para ulama sepakat bahwa dibolehkor tidak menghadiri jama’ah karena hujan deras, cuaca gelap, angin  kencang dan sejenisnya.

Beberapa udzur khusus diantaranya:

1-Sakit. Yang dimaksud sakit di sini adalah yang memberatkar penderitanya menghadiri shalat jama’ah. Tidak termasuk di da]a limy  sakit ringan, seperti pusing kepala, flu ringan dan sejenisnya.

Dalilnya adalah firman Allah:

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”(QS. 22:78)

Dan juga ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam jatuh sakit beliau meninggalkan shalat jama’ah selama beberapa hari dan memerintahkan Abu Bakar mengimami shalat jama’ah.

Shalat fardhu berjama’ah tidak wajib atas orang sakit, orang sakit yang terbaring di rumah, sakit menahun, orang yang terputus tangan dan kakinya secara silang atau orang yang putus kakinya, orang yang menderita kelumpuhan, orang yang lanjut usia dan sejenisnya.

Ibrahim An-Nakhaa’i berkata: “Para ulama tidak memberi dispensasi untuk tidak menghadiri shalat jama’ah kecuali orang yang khawatir terhadap kelemahan dirinya dan orang yang sakit.

Ibnu Hazm berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.

2-Kondisi tidak aman yang dapat membahayakan diri, harta dan kehormatannya.

Allah berfirman:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. 2:286)

Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

“Barangsiapa mendengar seruan adzan dan ia tidak mendataunginya maka tidak ada shalat baginya kecuali bila ada udzur.”

Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, apa udzurnya?” Beliau menjawab: “Rasa takut (situasi tidak aman) dan sakit.”

3-Menahan Al-Akhbatsain.

Al-Akhbatsain adalah buang air kecil dan buang air besar. Sebab hal itu akan menghalanginya shalat dengan khusyuk dan sempurna. Berdasarkan hadits Muslim dari ‘Aisyah ia berkata:

“Saya mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:



“Tidak boleh mengerjakan shalat saat makanan telah dihidangkan dan tidak pula saat menahan al-akhbatsain.”

4-Saat makanan telah dihidangkan. Berdasarkan hadits di atas tadi. Yakni sabda Rasulullah: “Tidak boleh mengerjakan shalat saat makanan telah dihidangkan”

Diriwayatkan dari Nafi’ dan Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhu berkata:

“Apabila salah seorang dari kamu sedang menyantap hidangan janganlah tergesa-gesa hingga ia menyelesaikan makannya meskipun iqamat shalat telah dikumandangkan.”

5-Baru memakan makanan yang menimbulkan bau tidak sedap.

Kewajiban shalat berjama’ah gugur atas orang yang baru me- makan makanan yang menimbulkan bau tak sedap, seperti bawang merah, bawang putih dan sejenisnya. Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa memakan bawang merah atau bawang putih hendaklah menjauhi masjid kami dan hendaknya ia tetap di rumah saja.“

Yang dimaksud bukan hanya bawang merah atau bawang putih saja, tetapi seluruh makanan yang menimbulkan bau tak sedap. Alasannya adalah mengganggu jama’ah shalat lainnya. Termasuk di dalamnya orang yang sakit kusta atau kudis yang menimbulkan bau busuk dan sejenisnya, statusnya disamakan dengan orang yang makan bawang karena alasan yang sama.

6-Imam mengerjakan shalat terlalu panjang hingga memberatkan makmum. Berdasarkan riwayat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu bahwa seorang lelaki mengadu: “Demi Allah wahai Rasulullah, saya terpaksa tidak menghadiri shalat subuh berjama’ah karena si Fulan yang mengimami shalat terlalu panjang.”

Maka belum pernah saya melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memberikan pe­ringatan yang sangat keras kecuali pada hari itu, beliau berkata:

“Sesungguhnya di antara kalian ada yang membuat orang-orang lari. Barangsiapa bertindak sebagai imam hendaklah meringankan shalat.”

7-Mengantuk berat. Berdasarkan hadits Abu Qatadah Radhiyallahu Anhu:

“Tidak terhitung lalai karena tertidur. Baru terhitung lalai apabila dalam keadaan terjaga. Jika kalian terluput mengerjakan shalat hendaklah ia mengerjakannya saat ia mengingatnya.“

8-Tidak punya baju.

9-Dalam keadaan safar dan khawatir ditinggal rombongan. 10-Sedang sibuk mengurus jenazah.

11-Kegalauan yang menghalangi khusyuk di dalam shalat. Abu Darda’ Radhiyallahu Anhu berkata: “Termasuk kedalaman fiqih seseorang adalah menyelesaikan urusannya terlebih dahulu hingga ia dapat menger­jakan shalat dengan hati yang lapang.”

Selain yang telah tersebut di atas, termasuk juga orang yang sangat rindu kepada sesuatu dan belum memperolehnya, orang yang sedang sibuk mencari barangnya yang hilang, orang yang sedang berusaha mengembalikan barangnya yang dirampas, kegemukan yang melebihi batas kewajaran, orang yang mendapat gangguan di tengah jalan atau di masjid, orang yang takut tertimpa fitnah atas dirinya atau dirinya dapat menimbulkan fitnah atas orang lain dan sebagainya.”

As-Suyuthi berkata dalam kitab Al-Asybaah wan Nazhaair: “Udzur-udzur yang membolehkan meninggalkan shalat jama’ah ada sekitar empat puluh: Salah satunya adalah yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Zadul Ma’ad: “Seseorang yang te- ngah diisolir (dikucilkan) oleh kaum muslimin merupakan udzur bolehnya ia meninggalkan shalat jama’ah.”

Yakni isolir yang dibenarkan dalam syariat, karena Hilal bin Umayyah dan Maraarah bin Ar-Rabi’ duduk di rumahnya, mengerjakan shalat di rumah dan tidak mengerjakan shalat berjama­’ah di masjid.”

Imam An-Nawaawi berkata dalam kitab Ar-Raudhah setelah menyebutkan udzur-udzur yang membolehkan meninggalkan shalat Jum’at dan jama’ah: “…Karena salah satu syarat sah shalat adalah dapat memahami dan menyadari gerakan-gerakan shalat yang dilakukan. Udzur-udzur yang kami sebutkan di atas meng­halangi hal tersebut. Maka mengerjakannya dengan khusyuk meski terluput jama’ah lebih baik daripada mengerjakannya bersarna jama’ah tanpa khusyuk.


dinukil dari “Bimbingan Lengkap Shalat Berjamaah”, Dr. Shalih Ghanim as-Sadlan, Terbitan at-Tibyan.
(http://amaz95.wordpress.com)

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...