Teologi Keadilan

Diposting oleh Kang Awin on Selasa, 25 Desember 2012

Allah  menegaskan bahwa keadilan merupakan ukuran tertinggi suatu masyarakat.”katakanlah: Tuhanku memerintahkan supaya kamu dapat berbuat adil” (al-Qur’an 7:29), dan menurut al-Qur’an taqwa tidak dapat dilepaskan atau dekat dengan keadilan ” Berlakulah adil, dan iti lebih dekat pada taqwa” QS.5:8. Arti taqwa dalam Islam tidak hanya menjalankan ibadah saja. Tanpa keadilan sosial rtidak ada ketaqwaan. Dan dalam bidang sosial ‘adl dan ahsan merupakan konsep-konsep pokok dalam al-Qur’an.

    Ada dua madzhab pokok yang menandakan tentang penting dan sengitnya perdebatan tentang teologi keadilan – madzhab wahyu dan madzhab akal budi yang di pelopori oleh kaum Qodariyah dan jabariah yang terlibat dari sejak periode awal pemerintahan Bani Ummayah dalam suatu perdebatan mengenai kemampuan manusia  menciptakan kemammpuan-kemampuan-nya.tetapi peratian utama mereka pada hakikat-nya adalah politik dan bukan teologisdalam pengertian istilah yang kaku. Perdebabtan antara Neo-Qodariyah dan neo-Jabariah dari generasi berikut-nya menampakkan suatu tingkaat sofistikasi yang lebih tinggi dan beermula untuk konsentrasi pada hakikat keadilan. Apakah hal itu saebagai peernyataan dari kemahakuasaan Allah SWT atau keadilan yang Inheren dalam diri-nya dan bagaimana direalisasikan dalam muka bumi walau perdebatan tentang keadilan ppolitik sama sekali tiddak beeerakhir, aspek-aspek lain teologis atau lain-lain-nya mengobarkan keheebhohan yang lebih besaar telah merefleksikan perhatian public terhadap dampak aliran-aliran pemikiran baaru yang mulai memp[engaruhi masyarakat Islam.berlalunya keimamahan dari kekuasaan Bani Umayah ke Tampok kekuasaan Bani Abbasiyah paada taahun 132 H./750 M. mmmenganntar suatu era baru di mana suatu rezim yang relative stabil dan lebih langsung didirikan kembali.agiitasi Khawariij yang mmenentang legimitasi Abbasiyah surut dan pada akhirnya lenyap ssekalikpundemikian keadilan politik diteguhkaan kembali oleh lawan-lawan-nya klaim kaum syi’ah terhadap keimamaan atas dasr keanggotaan dalam ahlul bait kehilangan banyaak makna.

    Keadilan sebagaipernyataan akal budi, yang mana kaummuktazilah menyebut diri mereka sendiri sebagai pendukung keadilan dan tauhid membawa  tradisikaum khawarij dn kaum khodariah bahwa manusia adalah penciptaperbuatan-perbuatan-nya sendiri adil dan tiddak adil, karena ia akan diganjar atau dihukum di akhirat nanti kaum Qodariah dan Jabariyah pertama-tama sependapat atas premis bahwa keadilan itu bersifat ketuhanan dan Allah mata Airnya namun demikian mereka berbeda pendapat mengenai bagaimana keadilanbersifat keeeeuhanan itu seharusnya direalisasikan di muka bumi sebelumkaum mukktazilah memasuki perdebatan tiga  jawaban telan ditawarkan terhadap persoalan ini pertama, membuat ikhtisar ke dua, manusia adalah pencipta perbuatan-nya sendirridaan beertanggumg jawab atasnya ke tiga fia media yang diwakili dalam ajaran-ajaran Hasan Al-Basri yang menyatakan bahwa perbuatan baik dari tuhan dan perbuatan buruk dari manusia. 

    Kaum mu’tazilah menolak kedua doktrin predistinasi dan penerimaan sebagian pertanggungjawaban manusia dari Hasan Basri. Semua para teolog sepakat bahwa keadilan ilahi itu sempurna, abadi dan ideal, bagi kaum jabariah keadilan merupakan suatu pernyataan dari kehendak Ilahi dan semua perbuatan manusia, dengan mengabaikan keadilan di nyatakan sebagai suatu kebenaran olehnya. Betapapun Mu’tazilah berpendapat bahwa keadilan merupakan sebagai suatu pernyataan dari esensi Allah dan bahwa dia hanya melkukan yang terbaik bagi manusia. Allah pada hakikatnya tidak melakukan ketidakadilan. Manusia selalu berusaha untuk merialisasikan keadilan Ilahi di muka bumi akan tetapi ia dapat melakukan hal itu hanya dengan sarana akal budi.

    Kaum Mu’tazilah mendatangkan kegusaran dan antagonisme pada semua kelompok dari permulaan hingga akhir dalam mencari suatu doktrin keadilan yang koheren dan rasional. Mereka sepakat dengan para teolog lain dengan doktrin keesaan dan kedilan merupakan dua doktri utama kaum mu’tazilah akan tetapi mereka tidak sepakat tentang beberapa persoalan.

    Ahmad bin Hambal (w.241H/855M.) seorang ahli hadits dan pendiri suatu madzhab hukum muncul sebagai lawan ajaran-ajaran Mu’tazilah yang paling tangguh dan seorang pahlawan yang memperjuangkan kredo para pendukung sunnah atupun paham Sunni  . Lebih khusus lagi ia menolak untuk menerima doktrin kreasi (penciptaan) al-Qur’an dan membantahnya bahw tidak ada bukti bahwa dalam teks bahwa al-Qur’an diciptakan ( makhluk) ia pun menolak akal budi sebagai metode interpretasi.

    Asy’ariah adalah serang pengikut al-jubai tokoh mu’tazilah sebagai seorang peneliti (mhasiswa) telogi yang inkuitif dan kritis, Asy’ari sering mengunjungi beberapa pusat ilmu pengetahuan lainya dan diungkapkan kepada mereka aliran-aliran pemikiran berbeda yang menyeret mereka tenggelam ke dalam konflik dengan gurunya. Sebagai seseorang  yang terdidik ia lebih mampu memimpin suatu gerakan yang menegaskan kembali pada sunah. 

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...