Agama sebuah pilihan alternatif?

Diposting oleh Kang Awin on Minggu, 06 Januari 2013

Sungguh ironis sekali ketika agama hanya dianggap sebagai tempat pelarian dan pilihan alternatif bukan sebuah keharusan dan kesadaran yang dalam diri manusia sebagai hamba tuhan di muka ini. Contoh di atas menggamparkan ketidakberdayaan, ketidakkonsistenan manusia dalam beragama. Agama dibutuhkan atas dasar untung dan rugi tanpa adanya kometmen total, bahwa kita butuh Tuhan.

Di abad modern dan majunya IPTEK sekarang ini, peranan agama semakin terpojok serta teralienasi dalam masyarakat yang rasional. Berkembangnya IPTEK membuat orang semakin bersifat individual dan disibukkan oleh urusa-urusan yang berbau duniawi, tidak heran kalau kebanyakan orang menganggap dunia adalah terminal terakhir, sehingga menafikan kehidupan setelah mati, karena dianggap tidak rasional dan bertentangan dengan jalan pilihannya, lantas yang menjadi pertanyaan, apakah eksistensi agama masih berperan dalam masyarakat yang modern di saat ini.

Di Eropa, munculnya sekularisme pada abad pertengahan menandakan kemenangan akal atas agama, dari kemenangan itu muncullah semangat berfikir bebas tanpa ada kontrol dari agama, mereka merasa telah dilahirkan dalam suasana baru dan merasa bebas dari jeruji-jeruji agama, sehingga mereka menyebutnya masa Renaisans (kebangkitan kembali) sehingga pada saat itu mucullah berbagai ungkapan diantaranya: “Jika seorang yang mengikuti fakultas Sokrates, meski hidup sengsara dan kelaparan ,itu justru lebih baik daripada menjadi budak”,”saya lebih suka berada di neraka jahanam dengan mata terbuka (memiliki pengetahuan ),dari pada berada dalam surga dalam keadaan buta (bodoh ), dengan kata lain karna supaya matanya dapat terbuka, ia mesti melanggar perintah tuhan dan mengesampingkan agama.

Memang pada saat itu ilmu pengetahuan berkembang dengan pesatnya, tetapi disisi lain kekeringan spiritual tidak bisa terelakkan, karena mereka mengira semua misteri dan problem-problem dalam hidup hanya bisa di pecahkan oleh ilmu pengetahuan. Sehingga kebutuhan orang terhadap agama pada waktu itu sangat berkurang. Memang benar yang di katakan Arief Budiman”semakin maju ilmu, semakin berkurang peranan agama”. Begitu sebaliknya, “semakin tidak berkembang ilmu, semakin kokoh peranan agama “. Seperti zaman renaisans, ketika ilmu belum berkembang, agamalah yang memberi jawaban atas misteri-misteri hidup manusia. Manusia relative merasa aman  menjelaskan misteri lewat agama, ketika mereka merasa tidak mampu menjelaskan misteri secara rasional. Maka untuk memenuhi akan penjelasan tersebut mereka berusaha mencari penjelasan yang irrasional, dan agama tampaknya tempat yang cocok untuk menjawab misteri tersebut, terlepas apakah apakah jawaban tersebut benar atau tidak.

Berbeda dengan yang di utarakan Sigmund Freud dalam buku Psikologi Islam,agama dalam ciri-ciri psikologisnya adalah ilusi, yakni kepercayaan yang dasar utamanya adalah angan-angan (wish fulfilment). Menurut dia, manusia lari pada agama disebabkan oleh ketidakberdayaanya menghadapi bermacam-macam bencana seperti, bencana alam, takut mati, keinginan manusia agar terbebas dari siksaan lainnya, takut pada seorang pemimpin yang tiran, dan semacamnya. Sehingga agam dibutuhkan hanya pada weaktu-waktu tertentu saja, seperti pepatah mengatakan “Habis manis sepah dibuang”.

Sungguh malang nasib agama bila hanya mempunyai peranan ketika dibutuhkan saja, dan lebih malang lagi orang yang butuh pada agama hanya sebagai pemberi keuntungan dan pelarian. Agama diangggap sebagai pilihan alternatif akhir untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Tanpa ada kesadaran dan komitmen total bahwa kita harus beragama dan yakin atas kebenarannya serta percaya agamalah yang menghidupi kita, menunjukkan kita pada jalan yang lurus lagi benar

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...